My Y!

Tuesday 22 July 2008

bangsa yang kehilangan rujukan budaya

diambil dari Republika online edisi selasa, 01 Juli 2008. semoga menjadi perenungan kita semua.

Ungkapan dalam judul ini tidak berasal dari saya, tetapi dari Bung Saini KM, sastrawan dan dramawan, asal Sumedang, lahir 18 Juni 1938. Sejak beberapa tahun terakhir kami sama-sama menjadi anggota Akademi Jakarta (AJ). Bung Saini yang santun dan tidak banyak bicara, tetapi sudah terlatih berpikir dalam, karena itu ia gelisah mengamati kultur bangsa yang sedang jatuh.

Dalam sebuah wawancara panjang, Saini sampai kepada kesimpulan bahwa bangsa ini secara kultural sedang kalah. Berbagai indikator telah dibentangkannya dalam wawancara itu. Pada saat berbicara tentang tindak kekerasan yang sedang marak di mana-mana dengan berbagai alasan, Saini meneropong akar pokoknya karena bangsa ini telah kehilangan rujukan budaya. Kulturalisasi (pembudayaan) telah ditelan komersialisasi yang ganas dan dangkal.

Lebih rinci Saini bertutur: “Perilaku keras, beringas, korupsi, keterpurukan ekonomi yang berkelanjutan adalah pertanda kekalahan budaya itu. Karakter bangsa dibentuk oleh kreativitas bangsa itu sendiri. Kreativitas itu akan berkaitan erat dengan kesejahteraan dan kekenyalan bangsa ketika menghadapi persoalan. Bangsa yang kreatiflah yang akan bertahan dan kukuh berdiri di tengah bangsa-bangsa lain.”

Saini berkali-kali mengatakan: “Kita kalah,” sebuah rintihan sastrawan yang mestinya mendapat tanggapan, dari mereka di panggung kekuasaan. Dengan menyadari secara sungguh-sungguh bahwa kita memang lagi berada di bawah, siapa tahu kita bisa bangkit kembali dari segala macam ketidakberesan yang menyesakkan napas. Sebab itu, kata Saini, kita perlu rujukan budaya tradisi yang bernilai dinamis dan positif yang memang terdapat pada semua subkultur bangsa ini.

Saini juga mengkritik perilaku elite yang seenaknya saja menjual aset-aset bangsa tanpa perhitungan jangka panjang. Memang, telah lama terlihat elite bangsa ini gemar ‘menggadaikan’ kedaulatan, demi menutup defisit anggaran. Orang yang kehilangan rujukan budaya akan dengan enteng saja menjual segala yang mungkin dijual, tidak mau berpikir panjang; dengan menempuh cara yang serbapragmatis itu, mereka tidak sadar pada akhirnya kedaulatan bangsa yang akan terjual. Bukankah dengan demikian kita telah mengundang sosok penjajah dalam format lain?

Bung Hatta, dalam usia 26 tahun, dalam pidato pembelaannya di depan mahkamah Belanda di Den Haag, pada 9 Maret 1928, berkata: Selamat tinggal politik memohon dan mengemis! Selamat tinggal politik mohon restu! Selamat tinggal politik menadahkan tangan!

Politik mengemis dan menadahkan tangan kepada asing adalah bagian dari kultur budak. Bukankah kutipan Bung Hatta itu terlahir dari pemimpin yang punya harga diri, sekalipun pada waktu itu Indonesia masih terjajah? Dengan kebiasaan kita menjual aset strategis kepada pihak asing, bukankah itu berarti kita telah kehilangan ketegasan sikap membela kedaulatan bangsa dan negara? Terakhir bergulir pula berita Krakatau Steel (KS), juga mau dijual ke asing. Tetapi, karena ada perlawanan dari dalam dan bantuan pers dan tokoh-tokoh masyarakat, kabarnya KS tidak jadi dijual. Coba banyangkan KS sebagai industri baja strategis bagi pertahanan negara, lalu dikuasai asing, bukankah dengan cara latah itu kita telah menggadaikan kedaulatan kita? Mengapa kita dengan mudah saja ‘menadahkan tangan’ kepada asing agar mau membeli aset yang sebenarnya mampu kita kelola sendiri?

Dalam situasi bangsa yang sedang kehilangan rujukan budaya ini, saya mengimbau semua komponen bangsa yang masih siuman untuk berteriak lebih keras dan lantang lagi tetapi santun untuk mengingatkan pihak pemerintah dan DPR agar berhati-hati membuat keputusan penting. Salah-salah tingkah, akibat buruknya akan ditanggung oleh anak cucu kita di kemudian hari. Jangan-jangan yang tersisa buat mereka nanti hanyalah ampas Republik yang telah sangat merana dan telah kehilangan segala-galanya. Kritik seorang seniman santun Saini patut benar direnungkan.

(Ahmad Syafii Maarif )


Owner's note: Ga salah memang. Siapa sich orang Indonesia yang ngga capek ngeliat berita segala hasil budaya dan adat istiadat tiba-tiba lebih dikenal dunia berasal dari negara lain, bukannya dari Indonesia. Blom lagi berita yang isinya kalo ngga korupsi, pemadaman listrik, BLT yang gagal, bencana yang ngga berhenti dan hal lain yang isinya negatif. Semakin jarang kita dengar dari televisi ada orang Indonesia yang berprestasi di luar sana... Hhhh....

BANGKITLAH INDONESIA-ku!