My Y!

Thursday 13 December 2007

Saat kita menilai diri terlalu tinggi

Tiap hari kita selalu ketemu orang lain, bergaul dengan mereka, sedikitnya membuat kontak dengan mereka. Dalam perkenalan, first impression jadi yang terpenting. Pembawaan kita menarik mereka untuk ingin mengenal lebih jauh, itulah yang bikin perkenalan berlanjut ke hubungan yang lebih dekat. Ga jarang saat kita kenalan dengan orang lain, kita membuat-buat impresi alias jaim, biar dikira orang kita orang yang cool(kas kalii...), terutama pada perkenalan yang melibatkan jenis kelamin yang berbeda. Dari cool itu bisa jadi cool beneran, salah tingkah, dianggap keren, ada juga yang sampe disangka sombong.

Nha , ngomongin soal sombong inilah yang saya pengen cerita. Mahasiswa tuh ya, adalah makhluk yang dinilai paling idealis sedunia. Berangkat dari kenyataan bahwa mereka harusnya jadi lebih dewasa karena udah ga sekolah lagi (saya juga sempet mengalami ini lho...), mereka masih dalam tahap mencari, mo jadi apa kalo udah gedhe (baca:lulus) entar. Seiring dengan bertambahnya jumlah semester, trus bertambahnya kerjaan (ya organisasi lah, kuliah bahkan skripsi dan tugas akhir) idealisme itu akan berubah jadi realistis. Yang pengennya penelitian dalam hal-hal tertentu, karena lama ga dapet2 inspirasi jadi banting setir nyari proyek seadanya yang bisa dibikin jadi skripsi. Ngimpi mpe bego pengen bekerja di tempat idaman akhirnya ngejogrok jadi pengangguran. Kalo ngga, sambar aja seadanya, dengan alasan buat batu loncatan (sebenernya siyh lebih ke udah capek nganggur).

Saat kita mulai merasa jadi orang idealis, jadi ngerasa juga paling bener sendiri, yang lain salah. Sombong karena dah ngerasa paling bisa pegang prinsip. Ngerasa dewasa. Saat itulah kita ngerasa kita yang paling baik. Saat itu juga kita jadi menilai diri kita terlalu tinggi. Gampangnyaa... terlalu pede. Guru saya bilang, pede itu bagus. Menolong kita untuk tetap berdiri tegak walo kita malu. Let's us laugh with, not laugh at, begitu kata beliau. Tapi kalo kita ngga introspeksi, itulah yang kebablasan. Nyungsep di tempat yang sama. Ga da orang yang mo deket ma orang yang sombong (kecuali yang kupingnya tebel of course).

Seorang profesor pernah berkata,"Semenjak saya jadi profesor, pemasukan saya jadi berkurang. Orang udah ga mau lagi ngajak saya jadi narasumber." Iyalah! Orang itu ga introspeksi. Mentang2 dah jadi profesor, pendapatnya adalah titah, paling bener. Minta amplopnya juga lebih tebel dibanding yang bukan profesor. Yaa... gimana orang mo minta dia jadi narasumber kalo harganya di atas "standar".

Terlalu pede kemudian bikin presentasi hasil karyanya di depan rekan-rekan sekerja. Dengan mencolok nambahin animasi macem2 yang malah ga eye catchy melainkan bingung harus ngeliat yang mana. Ga bagus, norak iye... Tapi teuteup kekeh bilang,"Gue nyentrik!" Nyentrik? Mungkin nyentrik=nyleneh. Kalo jadi keren gapapa, jadinya wagu kalo dalam bahasa Cina.... Ga da yang mo liat.

Gaya, paling bisa bahasa Belanda, sedikit2 nambahin kata2 aneh yang ngga dimengerti awam. Melayang-layang aja deh lagak katanya, ga da yang mo ndengerin karena ngga ngarti. Kata temen, ngga membumi. Silahkan lanjutkan, orang bakal nggugu karepe dhewe.

Sok bisa nulis cerita paling keren. Nulis ngalor ngidul di blog. Padahal juga ga ngarti yang ditulis apa. Yang penting punya blog... katanya. Yang ada di blog-nya padahal cuma cerita dari dia mencret di pagi hari sampe ngiler di malem hari. (kok kayanya saya juga iyah kalo yang ini.... hehehe...) berasa selebriti aja nulis keseharian biar bisa dibaca penggemar.

Begitulah. Adda aja efek buruk dari menilai diri terlalu tinggi. When human started to think that they were the best on earth, they started to destroy everything. In the name of economy, everything is legal. They started to exploit everything that they can use, eat and drink. Without knowing the local wisdom, that our environment is screaming asking for help. They need to recover, to take a deep breath. But we, human, don't care lah.... kata orang Tumasik.

Local wisdom teach us, to live with our mother nature, not just live at. Realise that what we do, better or worse, is comin' back to us. Don't blame the earth whether they started to shaking making an earthquake, or throw their hot lava out, or burst to tears and making food and tsunami. Lo kire cuma manusia yang bisa demo! begitu kata bumi kita. When our nature is on their 'bad mood', don't think that we, human, could survive. Go ahead and said that we could use our resources freely, and you'll see that someday not only the polar bear who dying to swim to find land, but homo sapiens as well.


P.S.: Ga penting banget sich nulis kaya gini. Curhat ya Mbak?

No comments: